Dalam penulisan akademik, sering kali kita menemukan sebuah ide penting yang dikutip oleh Sumber B dari karya asli Sumber A. Situasi ini, yang sering disebut “sitasi dalam sitasi,” secara formal dikenal sebagai Kutipan Kedua (Secondary Citation).
Meskipun idealnya kita harus selalu mencari dan membaca Sumber A, terkadang sumber asli (misalnya, buku langka atau dokumen arsip) sulit diakses. Saat inilah kita perlu memahami cara mengutip Kutipan Kedua secara etis dan benar.
Etika Akademik: Prioritas dan Peringatan
Sebelum melangkah ke format penulisan, penting untuk memahami prinsip etika:
- Prioritas Utama: Selalu usahakan untuk menemukan dan mengutip sumber asli (Primary Source). Kutipan Kedua harus menjadi pilihan terakhir.
- Risiko: Penggunaan Kutipan Kedua berisiko menyebabkan kesalahan interpretasi, karena Anda hanya membaca pemahaman Sumber B terhadap Sumber A.
Mengutip dari Goodside, jika Anda terpaksa menggunakan Kutipan Kedua, pastikan Sumber B adalah sumber yang kredibel dan terpercaya.
Panduan Praktis Penulisan: Fokus pada APA Style
Sebagian besar institusi akademik di Indonesia menggunakan APA Style (Edisi ke-7). Berikut adalah cara penulisan Kutipan Kedua yang benar, yang membedakan antara sitasi di dalam teks (in-text citation) dan Daftar Pustaka.
Asumsi kasus yang akan kita gunakan adalah: Anda ingin mengutip ide Budi (2010), tetapi Anda hanya menemukan ide tersebut dalam buku yang ditulis oleh Cahya (2023).
A. Sitasi Dalam Teks (In-Text Citation)
Sitasi dalam teks harus mencantumkan nama penulis asli (Sumber A), diikuti dengan frasa yang menunjukkan bahwa Anda membacanya melalui penulis sumber kedua (Sumber B). Kunci utama di sini adalah penggunaan frasa “seperti dikutip dalam” (atau as cited in dalam bahasa Inggris), yang merupakan penanda wajib untuk menunjukkan bahwa Anda tidak membaca sumber Budi secara langsung.
Jika Anda menggunakan Sitasi Parenthetical (sitasi diletakkan di akhir kalimat), format penulisannya adalah: (Penulis Asli, seperti dikutip dalam Penulis Sekunder, Tahun). Contohnya: “Motivasi ekstrinsik dipicu oleh imbalan eksternal (Budi, seperti dikutip dalam Cahya, 2023).”
Sebaliknya, jika Anda menggunakan Sitasi Narasi (sitasi dimasukkan dalam kalimat), formatnya sedikit berbeda: Penulis Asli (seperti dikutip dalam Penulis Sekunder, Tahun). Contohnya: “Budi (seperti dikutip dalam Cahya, 2023) menyatakan bahwa motivasi ekstrinsik harus didukung oleh lingkungan kerja yang positif.”
B. Penulisan di Daftar Pustaka/Referensi
Aspek yang paling sering salah dalam Kutipan Kedua adalah penulisan di Daftar Pustaka. Perlu diingat, aturan emasnya adalah: Hanya cantumkan sumber yang Anda baca langsung. Dalam kasus di atas (Budi dikutip dalam Cahya), Anda hanya membaca karya Cahya. Oleh karena itu, hanya referensi Cahya (2023) yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka Anda, sementara karya Budi (2010) TIDAK DICANTUMKAN. Daftar Pustaka Anda akan terlihat seperti ini: “Cahya, D. (2023). Manajemen Kinerja dan Lingkungan Kerja. Jakarta: Pustaka Utama.”
Kesalahan Fatal yang Harus Dihindari
- Mengutip Sumber Asli di Daftar Pustaka: Jangan pernah mencantumkan Budi (2010) di Daftar Pustaka. Melakukannya berarti Anda mengklaim secara palsu telah membaca sumber tersebut.
- Menghilangkan Penanda: Menggunakan sitasi “(Budi, 2010)” tanpa frasa “seperti dikutip dalam…” menunjukkan Anda mengklaim telah membaca Budi. Ini adalah pelanggaran etika dan dapat dikategorikan sebagai plagiarisme referensi.
- Penggunaan Berlebihan: Menggunakan Kutipan Kedua untuk ide-ide sentral atau konsep utama dapat mengurangi kualitas tulisan Anda. Selalu gunakan sumber asli untuk argumen yang sangat penting.
Dengan mengikuti panduan ini, Anda dapat mengatasi situasi “sitasi dalam sitasi” secara profesional, akurat, dan tetap menjunjung tinggi integritas akademik Anda. (adv)

Tinggalkan Balasan