Show, don’t tell adalah salah satu nasihat yang paling sering diberikan di antara para penulis. Namun, teknik ini bisa sulit untuk diaplikasikan terutama jika kamu nggak beneran tahu apa artinya! Di sini, aku akan membahas soal pengertian dan contoh show, don’t tell supaya kamu bisa menerapkan teknik penulisan yang satu ini dalam berbagai karya fiksi.
‘Show, Don’t Tell’: Apa Itu?
Show, don’t tell adalah teknik menulis di mana cerita dan karakter terkait melalui detail sensorik dan tindakan. Teknik ini membuat gaya penulisanmu terkesan lebih mendalam di mata pembaca. Pasalnya, show don’t tell memungkinkan mereka untuk berada di ruangan yang sama dengan para tokoh yang kamu tuliskan.
“Don’t tell me the moon is shining. Show me the glint of light on broken glass.”
Anton Checkov
Singkatnya “showing” memberikan ilustrasi, sementara “telling” hanya menyatakan. Berikut adalah contoh untuk menunjukkan perbedaan dari “showing” dan “telling”:
Showing | Telling |
Saat ibunya mematikan lampu dan meninggalkan ruangan, Lana menegang. Dia meringkuk di bawah selimut, mencengkram sprei, dan menahan napas saat angin melewati tirai. | Lana sangat takut gelap. |
Dalam contoh “showing”: daripada hanya mengatakan bahwa Lana takut kegelapan, writer menempatkannya dalam situasi di mana pengalaman ketakutan Lana menjadi pusat perhatian.
Dengan demikian, pembaca dapat menyimpulkan informasi sama dengan yang mereka dapatkan dari contoh “telling” tetapi dengan cara yang jauh lebih menarik.
Manfaat Penggunaan Show Don’t Tell
Show, don’t tell juga membantu mengembangkan karakter dengan cara yang tidak hanya mencantumkan sifat mereka.
Misalnya, daripada memberitahu pembaca bahwa “Lana adalah seorang perempuan yang egois dan tidak dewasa,” kamu bisa menunjukkan sisi ini dengan menulis adegan di mana dia merengek tentang bagaimana semua orang melupakan ulang tahunnya.
Atau jika kamu memiliki tokoh yang memiliki tekad kuat dalam mencapai tujuan, tunjukkanlah bahwa tokohmu mampu bertahan melalui sesuatu. Jangan hanya menuliskan “dia gigih.”
Secara keseluruhan, jika dilakukan dengan benar, “Show” menarik pembaca ke dalam narasi dengan deskripsi yang benar-benar mendalam.
Teknik ini tak hanya berkontribusi pada pengembangan cerita tetapi juga membuat pembaca lebih terlibat karena mereka bebas berasumsi dan menginterpretasikan cerita.
Tentu saja, penulisan seperti ini akan terasa jauh lebih menarik daripada membuat semuanya eksplisit.
Intinya: “Telling” mungkin lebih cepat, tetapi “showing” harus selalu menjadi strategi utama kamu dalam menulis novel, skenario, naskah, atau fiksi pada umumnya. |
4 Contoh Praktis Menerapkan Show Don’t Tell
Sekarang, mari berbicara tentang bagaimana kamu bisa menerapkan show, don’t tell dengan baik dalam tulisan kamu sendiri.
Contoh #1. Menuliskan suasana latar cerita
Salah satu cara terbaik untuk “showing” dan bukan “telling” adalah dengan menciptakan suasana latar.
Kamu dapat melakukan ini dengan menulis tentang bagaimana karakter memandang maupun berinteraksi dengan lingkungan mereka. Berfokus pada latar cerita akan membantumu menulis banyak detail sensorik ke dalam adegan.
Oleh karena itu, Ini adalah cara yang sangat baik untuk memberikan kedekatan pada pembaca. Terlebih lagi, pembaca harus dapat membayangkan diri mereka sendiri berada dalam semesta yang kamu ciptakan.
Telling | Showing |
Aku berjalan melewati hutan. Sudah musim kering dan aku mulai kedinginan. | Daun-daun pepohonan yang kering berderak di bawah kaki saat saya menarik kerah mantel saya. |
Contoh #2. Gunakan dialog untuk menunjukkan karakter
Selain pengaturan latar cerita, kamu juga dapat menggunakan dialog untuk menunjukkan elemen cerita. Dialog antar karakter akan memberi tahu pembaca banyak hal tentang mereka. Terlebih lagi, jika dialog ini terjadinya saat pertama kali mereka diperkenalkan kepada pembaca.
- Apakah tokohmu termasuk yang menggunakan kalimat panjang dan kata-kata bersuku banyak atau mereka lebih suka balasan yang singkat dan padat?
- Apakah mereka menggunakan bahasa gaul seperti “bro” atau “mas”?
- Akankah mereka memanggil atasan mereka dengan sebutan “Pak” atau “Tuan”?
Detil seperti ini nyatanya dapat memberikan kesan sekaligus menarik perhatian pembaca daripada sekadar menyatakan bahwa “Lana adalah anak yang baik”.
Contoh #3. Saat kamu ragu, bertindaklah!
“Telling” hampir selalu menghentikan momentum narasi kamu. Bayangkan harus meramu kata sifat setiap tokohmu memasuki ruang baru. Hal ini bisa sangat menghambat tempo naratif kamu.
Jadi, bagaimana caranya untuk mengingatkan pembaca mengenai latar dan sifat setiap tokoh yang terlibat? Di sinilah di mana sebuah “action” akan berguna.
Katakanlah kamu memulai adegan dengan tokohmu berjalan di jalanan kota tua. Alih-alih menulis soal lampu jalan, kota, dan pertokoan kamu bisa “showing” lewat sebuah tindakan!
Contohnya: Lana terlambat. Lonceng yang terletak di atas Gereja Kota Tua sudah riuh berdentangan. Ia pun harus berlari menyusuri jalanan basah di bawah remangnya lampu jalan. Sementara itu, deretan toko-toko yang biasanya sibuk, hanya membisu memandanginya menebas tengah malam dengan langkah kejam. |
Melalui aksi, kamu dapat menggambarkan latar adegan sekaligus mempertahankan gerak maju cerita.
Contoh #4. Gunakan detail yang kuat
Detail yang kuat dan jelas sangat penting untuk proses “showing”. Namun, itu tidak berarti kamu harus memasukkan terlalu banyak detail dengan terlalu banyak hiasan.
Jenis bahasa yang terlalu berornamen ini bisa sama buruknya dengan bahasa “telling” yang terlalu mendasar karena dapat menyebabkan pembaca kehilangan minat pada prosa.
Kebanyakan Detail | Detail Tepat Guna |
Patung itu terasa kasar, fasadnya yang tua diselimuti debu dan kotoran saat saya menimbangnya di tangan saya, mengamati lekuknya yang bergerigi dan rona warna Fanta. | Patung itu lebih berat daripada yang terlihat. Beberapa fasad oranye hancur di tangan saya saat saya mengambilnya. |
Seimbangkan kalimat yang memiliki ide sederhana dengan berbagai jenis detail sensorik, sehingga pembaca tidak merasa berat.
Kapan Kamu Boleh Menggunakan “Telling”?
Tentu saja, terkadang kamu tidak punya pilihan lain selain melakukan sedikit “telling” dalam sebuah cerita.
Ya, ini adalah jalan pintas untuk narasi. Namun, terkadang jalan pintas diperlukan — terutama ketika kamu mencoba menjelaskan sesuatu dengan cepat.
Penulis sering “telling” di awal cerita untuk menyampaikan eksposisi, atau setelah “revelation” di mana detail tertentu hanya perlu dinyatakan dengan jelas.
Yang penting paling penting pahamilah bahwa menulis membutuhkan keseimbangan. Selama kamu tidak terlalu banyak “telling” dan lebih sering menggunakan “showing” maka kamu seharusnya baik-baik saja.
Kesimpulan
Terakhir, ingatlah bahwa tidak ada aturan yang saklek dalam menulis. Oleh karena itu, tidak perlu khawatir ketika tulisanmu terlalu banyak “telling” dan kurang sering “showing”.
Hal yang terpenting adalah tulisan kamu masih mengalir dengan baik dan melibatkan pembaca. Jadi, jangan merasa berkewajiban untuk mengubahnya!
Terlebih lagi, dalam pengkaryaan, aturan itu sifatnya tidak baku. Teknik penulisan berfungsi lebih seperti saran ketika kamu bimbang.
Jadi, apakah kamu lebih cocok dengan “showing” atau “telling”? Cari tahu dengan menulis terus menerus sampai kamu menemukan gaya yang tepat untukmu sendiri.
Semoga pembahasan soal contoh show, don’t tell” ini dapat membantu! Semangat menulis, writers!