Tika Widya

The Color Purple dan Lingkaran Setan Kekerasan


The Color Purple adalah novel karya Alice Walker yang terbit pada tahun 1982. Lewat novel ini, ia menjadi perempuan kulit hitam pertama yang berhasil memenangkan Pulitzer pada tahun 1983.

“Why any woman give a shit what people think is a mystery to me.”

Alice Walker, The Color Purple

Novel ini merupakan sebuah karya feminis tentang perjuangan wanita Afrika-Amerika yang dilecehkan karena tidak berdaya dan tidak memiliki akses pendidikan. Banyak sastrawan memuji The Color Purple karena Alice Walker berhasil mengeksplorasi kedalaman karakter-karakter wanita kulit hitam serta kefasihannya dalam menggunakan Black English Vernacular.

Stephen Spielberg mengadaptasi novel ini ke layar kaca pada tahun 1985 dengan judul yang sama. Deretan nama-nama tenar pun ikut berperan sebagai karakter wanita dalam versi filmnya termasuk Whoopi Goldberg, Oprah Winfrey, dan Margaret Avery.

Ringkasan Cerita The Color Purple (Spoiler Alert)

The Color Purple mendokumentasikan trauma Celie, seorang remaja Afrika-Amerika yang beasr dalam isolasi di pedesaan Georgia. Alur cerita novel ini mengkisahkan perlawanan Celie terhadap paksaan orang lain terkait dengan identitas dirinya.

Celie menceritakan hidupnya melalui surat-surat yang ia tujukan kepada Tuhan. Kiriman surat-surat ini mulai ia tuliskan ketika ayahnya yang kejam, Alphonso, memperingatkannya untuk tidak memberi tahu siapa pun kecuali Tuhan bahwa dia memperkosa Celie hingga hamil untuk kedua kalinya pada usia 14 tahun. Setelah Celie melahirkan, Alphonso mengambil anaknya dan memberitahu Celie bahwa kedua anaknya telah terbunuh.

Pada suatu ketika, seorang pria bernama Mr. Albert melamar adik perempuan Celie yang bernama Nettie. Namun, Alphonso mendorong Albert untuk mengambil Celie sebagai gantinya. Padahal, Albert terlanjur tergiur dengan kecantikan Nettie dan membenci Celie yang buruk rupa. Meski demikian, Albert menurut dan menikahi Celie.

Nasib Celie Setelah Menikah

Segera setelah itu, Nettie melarikan diri dari Alphonso dan tinggal sebentar dengan Celie. Namun, minat Albert yang terus berlanjut mengakibatkan Nettie harus pergi dari rumah Celie. Tentu saja, ini membuat Celie semakin sedih karena ia tidak punya tempat untuk berkeluh kesah.

Celie kemudian mulai membangun hubungan dengan wanita kulit hitam lainnya, terutama mereka yang terlibat secara paksa dengan penindasan. Salah satunya bernama Sofia yang menikahi putra Albert, Harpo, setelah hamil.
Harpo yang tidak dapat mengendalikan istrinya meminta nasihat dari Celie. Oleh karena itulah, Celie menyarankan agar Harpo memukul Sofia. Namun, ketika Harpo menyerangnya, Sofia melawan.

Setelah mengetahui bahwa Celie mendorong Harpo melakukan kekerasan, Sofia mendatangi Celie yang mengaku cemburu dengan keberanian Sofia. Akhirnya, kedua wanita tersebut menjadi teman.

Bertemu dengan Shug

Di sisi lain, Celie juga menjalin hubungan dengan Shug Avery, seorang penyanyi glamor dan independen yang juga kadang menjadi simpanan Albert. Celie sering merawat Shug yang sakit-sakitan. Keduanya pun dekat dan akhirnya menjadi kekasih.

Beberapa waktu kemudian, Celie menemukan bahwa Albert menyembunyikan surat yang dikirim Nettie kepadanya. Celie mulai membacanya dan mengetahui bahwa Nettie telah berteman dengan seorang menteri, Samuel, dan istrinya, Corrine, dan bahwa anak angkat pasangan itu, Adam dan Olivia, sebenarnya adalah anak Celie.

Nettie bergabung dengan keluarga dalam misi di Liberia, di mana Corrine kemudian meninggal. Surat-surat itu juga mengungkapkan bahwa Alphonso sebenarnya adalah ayah tiri Celie. Celie pun mulai mengirimkan surat-suratnya kepada Nettie. Namun, Shug kemudian mendorong Celie untuk mengubah keyakinannya tentang Tuhan. Celie yang berani kemudian memutuskan untuk meninggalkan Albert dan pergi ke Memphis bersama Shug.

Happy Ending

Sesampai di sana, Celie membangun bisnis yang sukses dengan menjual celana khusus wanita. Setelah kematian Alphonso, Celie mewarisi rumah masa kecilnya. Selama waktu ini dia mengembangkan persahabatan dengan Albert, yang meminta maaf tentang perlakuan sebelumnya padanya.

Setelah sekitar 30 tahun berpisah, Celie kemudian bertemu kembali dengan Nettie, yang telah menikah dengan Samuel. Celie juga bertemu dengan anak-anaknya yang telah lama hilang.

Suara Perempuan Afrika-Amerika yang Terbungkam dalam The Color Purple

Walker menekankan di seluruh novel bahwa kemampuan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan sangat penting untuk mengembangkan identitas diri. Awalnya, Celie sama sekali tidak bisa melawan orang-orang yang melecehkannya. Apalagi ia mengalami trauma ketika Alphonso berkata bahwa, “lebih baik tidak pernah memberi tahu siapa pun kecuali Tuhan.”

Celie merasa bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah tetap diam dan tidak terlihat. Ia pun memperlakukan dirinya sebagai sebuah objek, pihak yang sepenuhnya pasif yang tidak memiliki kekuatan untuk menegaskan dirinya melalui tindakan atau kata-kata. Surat-suratnya kepada Tuhan, menjadi satu-satunya penghiburannya.

Lewat Shug dan Sofia, Celie menemukan telinga yang simpatik dan belajar menemukan suaranya. Dengan mengganti nama Celie menjadi “Virgin”, Shug menunjukkan bahwa Celie dapat membuat narasinya sendiri. Inilah yang kemudian membuat Celie berhasil menemukan dirinya dan mulai melawan.

Perlahan-lahan Celie mulai menyempurnakan ceritanya dengan menceritakannya kepada Shug. Namun, baru setelah Celie dan Shug menemukan surat-surat Nettie, Celie akhirnya memiliki pengetahuan yang cukup tentang dirinya untuk membentuk identitas diri sendiri yang kuat.

Meskipun Walker dengan ingin menekankan kekuatan narasi dalam menegaskan identitas dan melawan penindasan, novel ini juga mengakui bahwa perlawanan semacam itu bisa berisiko. Ada harga yang harus dibayar untuk setiap perlawanan. Dan terkadang, kita sendiri yang harus menentukan apakah harga tersebut cukup layak.

Pentingnya Women Supporting Women

“All my life I had to fight. I had to fight my daddy. Then, I had to fight my brothers. I had to fight my cousins and my uncles. A girl child ain’t safe in a family of men. But I never thought I’d have to fight in my own house. She let out her breath. I loves Harpo, she say. God knows I do. But I’ll kill him dead before I let him beat me.”

Alice Walker, The Color Purple

Dalam The Color Purple, Walker menggambarkan persahabatan perempuan sebagai sarana bagi perempuan untuk mengumpulkan keberanian. Pada gilirannya, kisah-kisah ini memungkinkan perempuan untuk melawan penindasan dan dominasi.

Women Supporting Women dapat membentuk perlindungan dari dunia yang penuh dengan kekerasan.
Ikatan perempuan memiliki banyak bentuk: beberapa bersifat keibuan atau saudara perempuan, beberapa dalam hubungan mentor dan murid, dan sebagian lainnya berupa persahabatan. Sofia mengklaim bahwa kemampuannya untuk melawan berasal dari hubungannya yang kuat dengan saudara perempuannya.

Senada dengan pernyataan itu, hubungan Nettie dengan Celie membuatnya bertahan selama bertahun-tahun hidup dalam budaya Afrika yang asing. Salah satu tokoh pria dalam novel yang bernama Samuel mencatat bahwa hubungan yang kuat antara perempuan Olinka adalah satu-satunya yang membuat mereka bertahan ketika mengalami poligami. Yang paling penting, ikatan Celie dengan Shug berhasil membuat Celie memiliki rasa percaya diri.

Lingkaran Setan Kekerasan dalam The Color Purple

Hampir tidak ada pelaku kekerasan dalam novel Walker yang stereotip. Kita tidak akan menemukan monster yang benar-benar jahat di sini. Kebanyakan pelaku yang melanggengkan kekerasan itu sendiri adalah korban dari seksisme, rasisme, atau paternalisme.

Harpo, misalnya, mencoba memukul Sofia hanya karena ayahnya menyiratkan bahwa perlawanan Sofia membuat Harpo kurang jantan. Albert kejam dan menganiaya keluarganya seperti ayahnya sendiri yang kejam memperlakukannya. Celie, si protagonis, bahkan sempat terlibat sebagai pelaku kekerasan saat menyarankan Harpo untuk memukul Sofia karena dia iri dengan kekuatan dan ketegasan Sofia.

Pada akhirnya, sebagian besar karakter menyadari lingkaran setan dari kekerasan. Misalnya, Sofia memberi tahu Eleanor Jane bahwa pengaruh sosial membuat hampir setiap bayi laki-laki akan tumbuh menjadi rasis. Dengan berkomunikasi kepada para pelaku, para wanita dalam novel ini berhasil memutuskan siklus seksisme dan kekerasan. Narasi mereka menyebabkan pelakua berhenti dan meninjau kembali tindakan mereka.

Konsep Gender yang Tidak Sederhana

“I’m poor, I’m black, I may be ugly and can’t cook, but I’m here.”

Alice Walker, The Color Purple

Banyak karakter dalam novel ini melanggar batas-batas peran gender tradisional laki-laki atau perempuan. Kekuatan dan kecerobohan Sofia, ketegasan Shug, dan insecurity Harpo adalah contoh utama dari perbedaan antara jenis kelamin karakter dan sifat yang ditampilkannya. Kekaburan sifat dan peran gender ini terkadang melibatkan ambiguitas seksual, seperti yang kita lihat dalam hubungan antara Celie dan Shug.

Gangguan peran gender ternyata juga dapat menimbulkan masalah. Misalnya saja, insecurity Harpo tentang kejantanannya menyebabkan masalah dalam perkawinan. Demikian juga, Shug yang percaya diri dan mempunyai sikap melawan dominasi laki-laki menyebabkan dia dicap gelandangan.

Sepanjang novel, Walker ingin menekankan bahwa gender dan seksualitas tidak sesederhana yang kita yakini. Novelnya merongrong dan menentang cara-cara tradisional di mana kita memahami perempuan sebagai perempuan dan laki-laki sebagai laki-laki.

Metafora Warna Ungu dalam The Color Purple

Dalam The Color Purple, warna ungu melambangkan semua hal baik di dunia yang Tuhan ciptakan untuk dinikmati pria dan wanita. Di awal buku, bisa dibilang Celie tidak punya warna ungu. Dia memiliki kehidupan yang mengerikan dan dia hanya berusaha bertahan hidup.

Shug adalah orang yang menunjukkan konsep warna ungu kepada Celie. Shug berkata bahwa Tuhan melakukan hal-hal kecil bagi manusia, seperti menciptakan warna ungu, hanya untuk membuat orang bahagia dan memberi mereka kesenangan dalam hidup mereka. Tuhan ingin manusia memperhatikan keindahan ciptaan-Nya.

Menurut Shug, menikmati keindahan ciptaan berarti semua ciptaan Tuhan, termasuk seks. Shug mengajari Celie bahwa menikmati hidup adalah cara untuk mengungkapkan cinta kita kepada Tuhan. Saat Celie belajar mencintai kehidupan, dia mendekorasi kamar tidurnya di rumahnya sendiri dengan warna ungu dan merah.


“I think it pisses God off if you walk by the color purple in a field somewhere and don’t notice it.”

Alice Walker, The Color Purple

Akhir Kata

Meski ditulis di tahun 1982, The Color Purple merupakan novel yang signifikan dengan kondisi Indonesia zaman sekarang. Maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual membuat novel ini penting sebagai landasan inspirasi ketika kita harus bersinggungan dengan korban maupun pelaku kekerasan.

Tidak hanya bacaan untuk perempuan saja, novel ini bisa menawarkan perspektif baru mengenai perlawanan kekerasan dan hubungannya dengan penemuan jati diri. Narasi Alice Walker yang sangat menyentuh hati ini juga dapat membuat kita bertanya-tanya: Sudahkah kita sendiri bebas dari lingkaran setan kekerasan?


Tulisan ini dibuat tikawidya.com untuk #pojokbacahydramates

Exit mobile version