Grief: Susahnya Mengucapkan Selamat Tinggal yang Mendadak

Belum sebulan yang lalu, seorang partner menulis saya harus berpulang ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sudah bukan lagi sedih rasanya. Saya kini harus berhadapan dengan fakta bahwa tidak akan ada lagi perbincangan dini hari yang menguras sisa tenaga maupun candaan yang hanya bisa kami pahami.

Kehilangan ini membuat saya harus menutup sebuah chapter dalam hidup yang sebenarnya punya masa depan menjanjikan. Saya tahu bahwa ini bukan tentang saya tapi tentang seorang teman yang tentu saja akan mengisi sebuah tempat di dalam hati selamanya.


Hanya saja, kematian ternyata terasa lebih sulit untuk orang yang ditinggalkan, apalagi hidup selalu mengingatkan kita dengan kenyataan-kenyataan baru. Bagi saya, mengucapkan selamat jalan dan semoga tenang menjadi sebuah persoalan yang rumit. Bukan hanya karena beliau memegang peranan penting dalam hidup saya, namun juga karena ini kali pertama saya kehilangan teman, sahabat, sekaligus partner yang sepenting itu.

Memberikan Sedikit Waktu Duka Sebelum Kembali Ke Rutinitas Harian

grief

Grief is a natural response to loss. It’s the emotional suffering you feel when something or someone you love is taken away.

Menurut helpguide.org, kesedihan adalah respon alami ketika kamu kehilangan seseorang yang kamu cintai. Seringkali, beban emosional ini berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan, dan konon selamanya. Oleh karena itu, untuk dapat melanjutkan hidup, kita harus mencari cara memproses kesedihan dengan baik.


Tentu saja, saya bukan orang yang terlalu sabar. Hari kedua pasca kehilangan, saya merasa harus melakukan semuanya dengan cepat. Ini salah. Pasalnya, yang seharusnya saya lakukan adalah memberikan ruang istirahat yang cukup supaya kondisi emosional saya dapat membaik secara natural.


Alih-alih berkabung secara normal, saya memutuskan untuk mengubur diri dalam pekerjaan sembari mengambil tanggung jawab baru yaitu mencoba membuka handphone mendiang yang ternyata terkunci dengan screen pattern. Hasilnya? Mudah ditebak, saya malah merasa burnout dan kehilangan pegangan. Jangankan bekerja, untuk menjalankan rutinitas rumah sehari-hari saja saya merasa tidak ada tenaga lagi.

BACA JUGA:   The Color Purple dan Lingkaran Setan Kekerasan


Saya menganggapnya remeh tapi ternyata memberikan sedikit waktu senggang untuk berkabung adalah hal pertama yang perlu kamu lakukan setelah kehilangan. Dalam kasus saya, saya membutuhkan waktu 3 sampai 5 hari sebelum bisa kembali ke pekerjaan dengan tenaga terisi.

Memahami 5 Stages of Grief

5 stages of grief

Pada tahun 1969, seorang psikiater bernama Elizabeth Kubler Ross menulis dalam bukunya bahwa grief bisa dibagi menjadi 5 tahapan. Teori ini berasal dari pengalamannya bekerja selama bertahun-tahun dengan orang-orang yang menderita penyakit kronis.


Teori kesedihan ini menjadi sangat populer bagi orang-orang yang sedang berjuang melalui masa-masa kehilangan. Jadi, apa saja 5 tahap ini?

Tahap 1: Denial

Kehilangan yang dalam kasus saya terjadi secara mendadak bisa mendatangkan kesedihan yang luar biasa. Tidak jarang seseorang yang mengalaminya akan merespon dengan meyakinkan diri sendiri bahwa kehilangan ini tidak pernah terjadi.


Kubler Ross mengatakan bahwa denial memberikan waktu untuk mencerna berita kematian dan memulai proses berkabung. Stage ini sebenarnya adalah bagian dari defense mechanism yang akan membantu kita untuk meredam intensitas emosi pada awal kehilangan.


As you move out of the denial stage, however, the emotions you’ve been hiding will begin to rise.


Selepas melewati tahap denial, kamu akan harus berhadapan dengan emosi dan kesedihan yang telah kamu pendam sebelumnya. Ini sulit tapi ini juga merupakan bagian dari perjalanan hidup yang harus kamu hadapi.


Saya ingat bahwa pada stage ini saya bahkan percaya bahwa teman saya akan tiba-tiba bangkit dari peti matinya dan mengatakan bahwa semuanya bohongan. Sayangnya, itu tidak pernah terjadi. Bahkan ketika saya menyaksikan orang-orang beramai-ramai menutupi liang kubur dengan tanah, ia tidak pernah bangun lagi.

Tahap 2: Anger

Sehari setelah saya menghadiri pemakaman sahabat saya, tangis datang bertubi-tubi. Namun, pada hari kedua yang saya rasakan hanyalah kemarahan. Marah pada siapa? Marah pada teman saya itu tentunya. Bisa-bisanya, ia pergi dengan tiba-tiba!


Saking marahnya, saya mengunggah foto-foto pribadi yang ia kirimkan kepada saya dengan harapan dia akan membalas dengan emosi yang sama. Saya tidak langsung mendoakan supaya jalannya tenang dan lancar. Tidak! Kalau bisa, dia jadi arwah penasaran yang terus berkeliaran dalam mimpi atau di rumah-rumah hantu saja.

BACA JUGA:   Cara Penulis Berperang Melawan Kebodohan


Hari kedua ini menandakan bahwa saya sebenarnya telah memasuki tahapan “Anger”. Menggantikan denial, anger datang untuk menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Bukannya menerima kesedihan itu, manusia ingin menutupinya dengan kemarahan dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja.


Saya bersikap seolah-olah ia akan protes seperti biasa. Namun, tahap ini segera usai di hari ketujuh ketika saya sadar bahwa ia tidak akan pernah protes, tidak akan lagi.

Tahap 3: Bargaining

Sahabat saya meninggal karena serangan jantung, cardiac arrest tepatnya. Tidak ada yang menyangka bahwa ia bisa mengalami hal ini karena semua orang mengira bahwa selama ini ia sehat-sehat saja.


Gangguan pada jantung umumnya menghadirkan gejala-gejala ringan yang sering dianggap enteng. Sahabat saya memang terlihat tetapi ia sebenarnya selalu bercerita kepada saya ketika ia mengalami rasa sakit.


Mulai dari nyeri punggung, sesak napas, dada yang sakit, semua selalu ia katakan. Pada saat itu, kami berdua menganggap bahwa sakitnya adalah sakit ringan biasa. Di salah satu percakapan, saya bahkan sempat mengatainya sudah tua saat ia mengeluh punggungnya sakit. Dan inilah yang akhirnya membuat saya menyesal.


Bagaimana jika pada saat itu saya memaksanya pergi ke dokter? Semua ini tidak akan terjadi bukan?
Pertanyaan ini mungkin akan berbeda-beda untuk setiap kasus kehilangan. Tapi, semua selalu diawali dengan kata “jika”, “jika saja”, dan lain sebagainya. Fase inilah yang dapat kita sebut sebagai tahap ketiga dalam stages of grief: bargaining.

Tahap 4: Depression

Fase depresi bukanlah sebuah fase yang sangat aktif. Memasuki tahapan ini kita akan menemukan bahwa kesedihan hadir dalam bentuk yang paling sunyi. Dalam fase ini, saya sudah kembali bekerja dengan sedikit lebih normal. Hanya saja, saya kehilangan nafsu makan dan sering merasa lelah.


Cara kerja depresi tentu saja berbeda-beda bagi setiap orang. Namun, sebenarnya ini adalah saat yang tepat untuk berkonsultasi dengan tenaga ahli bila kamu rasa itu perlu. Punya teman bercerita juga sangatlah penting mengingat kamu mungkin butuh membagi bebanmu kepada orang lain.


Baik itu seorang therapist maupun seorang teman, pastikan kamu tidak sendirian saat stuck pada keadaan ini.

BACA JUGA:   Bolehkah Pakai AI untuk Membuat Cover Novel?

Tahap 5: Acceptance

Acceptance is not necessarily a happy or uplifting stage of grief. It doesn’t mean you’ve moved past the grief or loss. It does, however, mean that you’ve accepted it and have come to understand what it means in your life now.


Mengerti dan akhirnya menerima adalah tahapan terakhir stage of grief. Tentu saja, saya masih bersedih. Tetapi, saya sudah memahami bahwa yang mati tidak akan kembali lagi. Tidak ada gunanya bersikeras dan menciptakan skenario-skenario luar biasa di kepala. Sahabat saya telah tiada dan saya hanya harus menerima kenyataannya saja.


Pada suatu waktu, saya juga menyadari bahwa sahabat saya mungkin tidak ingin melihat saya terpuruk begitu lama. Saya yakin ia ingin saya melanjutkan hidup dengan normal. Berbeda dengan orang lain, saya melihat fase ini sebagai katarsis. Kematiannya telah berhasil mengubah masa depan yang kami impi-impikan itu.


Acceptance membuat saya bersyukur karena setidaknya telah diberi kesempatan untuk mengenal dan berbagi impian bersama teman saya yang satu ini. Dan tentu saja, akhirnya, setelah sekian fase dan sebanyak itu air mata, saya bisa mengucapkan selamat jalan.

The Story with Sad Ending…

Grief dan loneliness

Entah mendadak atau melalui masa-masa kesakitan, kematian bukan sesuatu yang bisa kita hindari. Edward Cullen yang katanya immortal sekalipun masih bisa menjemput ajal ketika dihadapkan dengan kawanan musuh-musuhnya.
Menyadari kematian yang bisa datang kapan saja membuat saya sadar bahwa saya harus hidup dengan lebih hidup! Menikmati setiap momennya dan menyelami kebahagiaan sekaligus kesedihan yang mungkin mampir ke jalan hidup saya.


Orang bilang bahwa kematian di akhir cerita adalah sebuah sad ending. Matinya Tom Robinson dalam To Kill A Mockingbird memang membuat Atticus Finch putus asa dan bersedih hati. Namun, kematian ini bukanlah sesuatu yang sia-sia. Apalagi kehidupan memang selalu menemukan caranya untuk mengobati luka hati.
The feeling is mutual


Di saat saya akhirnya mengucapkan selamat jalan dan menyatakan terima kasih karena telah memberi saya kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam hidupnya, saya tiba-tiba teringat dengan kata-kata yang sering sahabat saya ucapkan. “The feeling is mutual.”

Saya tahu. Dia tahu bahwa kami akan saling merindukan. Kami mungkin akan terus hidup di hati masing-masing meski terpisah alam. Suatu saat nanti, mungkin, kami bisa bertemu dan melanjutkan perbincangan ke dini hari berikutnya.


In memoriam Esap Sigit Yuwono

Tika Widya

Tika Widya C.DMP adalah seorang penulis yang sudah menekuni industri kreatif secara profesional sejak tahun 2018. Ia telah menjadi content writer, copywriter dan creative writer pada lebih dari 914+ proyek penulisan skala nasional dan internasional. Pada tahun 2024, ia berhasil menjadi satu-satunya penulis Indonesia yang masuk daftar Emerging Writer Australia-Asia. Kini, Tika Widya mengajar menulis lewat Tikawidya.com, Tempo Institute dan Kelas Bersama. Ia juga membentuk Komunitas Belajar Nulis yang aktif mengawal 1800+ penulis dari seluruh Indonesia untuk terus berkarya dan menyemarakkan industri literasi nusantara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *