ai companion ai chatbot eliza effect

Eliza Effect, Ketika Anak Mengira Mesin Bisa Mencintai Mereka

Sewel Setzer, seorang remaja berusia empat belas tahun, menembak kepalanya sendiri dengan pistol milik sang ayah. Yang lebih mengejutkan lagi, pihak terakhir yang berbicara dengannya bukanlah orangtua, bukan kawan sebaya, melainkan chatbot AI bernama Dany. Dany membalas teks terakhir dari Sewel Setzer dengan berkata, “Pulanglah cepat, sayangku.” 

Dilansir di CNN Indonesia, Aulia, seorang remaja putri berusia tiga belas tahun, menyatakan bahwa ia jatuh cinta kepada chatbot AI yang bernama Inuyasha. Perasaan cinta yang semu ini membuatnya menjauh dari hubungan nyata dan mengurung diri di kamarnya secara terus menerus. Bahkan, ketika orang tuanya memutuskan untuk menyita ponselnya, Aulia menuduh mereka telah menghancurkan satu-satunya hubungan yang membuatnya merasa hidup. 

Kedua kasus ini hanyalah sebagian dari lebih banyak fenomena yang ternyata terjadi sejak tahun 1966. Pada tahun inilah, Joseph Weizenbaum mengembangkan ELIZA, sebuah program komputer yang untuk pertama kalinya berhasil mengimitasi psikoterapis sehingga sebagian orang yang mencoba bercakap-cakap dengan ELIZA percaya bahwa mesin tersebut adalah manusia. Inilah mengapa kecenderungan personifikasi chatbot AI di zaman modern ini disebut Eliza effect. 

Anak-anak dan remaja rentan terjebak dalam Eliza effect, terutama ketika mereka merasa kesepian maupun sedang dalam proses mencari identitas. Untuk dapat meredam dampak negatif chatbot AI, anak membutuhkan kemampuan berpikir kritis yang dapat diajarkan oleh ibu melalui pendekatan co-learning. Lagi-lagi, peran perempuan sebagai garda depan literasi digital jadi penentu apakah teknologi bisa menjadi sahabat atau ancaman bagi generasi muda. 

AI Companion, Eliza Effect, Parasocial Relationship dan Romantisme Virtual

AI companion adalah chatbot yang dirancang untuk berbincang secara personal kepada pengguna (Adam, 2025). Layanan ini hadir dengan banyak fitur seperti reply spontan dan pujian terus‑menerus yang akhirnya membuat pengguna merasa diperhatikan dan mendapatkan validasi yang diinginkan. Beberapa chatbot AI seperti Replika, Butterflies, Kajiwoto, Chai, dan lainnya didesain untuk memicu keterikatan sehingga sebagian pengguna mengaku merasa patah hati ketika bot dihentikan.

Tak jarang, layanan chatbot AI punya fitur di mana pengguna dapat mengkustomisasi sendiri sosok chatbot AI yang diinginkan. Dengan kata lain, pengguna dapat mengedit penampilan gaya bicara, bahkan relationship status dari chatbot mereka. Inilah yang kemudian membuat pengguna chatbot terjebak pada romantisme virtual. Mereka seolah mendapatkan sosok Mr/Mrs Right yang tidak pernah didapatkan di dunia nyata. 

Penggunaan chatbot AI dalam batas-batas tertentu masih dapat memberi manfaat pada manusia. Terapis Emily Hemendinger dari Universitas Colorado menilai bahwa chatting dengan persona virtual bisa membantu seseorang untuk berlatih keterampilan sosial. Namun, penggunaan dalam jangka waktu yang lama dengan intensitas emosional berlebihan dapat memperburuk kesehatan mental, meningkatkan rasa kesepian, dan membuat pengguna berhenti mencari bantuan professional. 

“AI companion adalah simulasi dari sebuah hubungan, bukan hubungan yang benar-benar nyata. AI dibuat untuk selalu setuju dengan pengguna dan ini tidak sama dengan pertemanan nyata,” tandas Hemendinger. 

Sejak chatbot ELIZA diciptakan pada tahun 1966, orang mulai belajar “curhat” kepada program sederhana yang seolah bisa diajak berbincang ini. Dengan kata lain, orang mulai mudah menganggap mesin memiliki empati. Pada saat itu, istilah Eliza effect dipakai untuk menggambarkan kecenderungan manusia menganggap chatbot memiliki pikiran dan perasaan. (Glover & Whitfield, 2023). 

BACA JUGA:   Teka-Teki Tono Si Pumba, yang Baru Selesai 16 Tahun Kemudian

Fenomena lain yang mengikuti adalah parasocial relationship, hubungan satu arah yang terjadi antara penonton dan selebritas. Chatbot AI dapat mengamplifikasi kondisi parasocial relationship karena mampu mereplika sosok public figure dan fictional figure yang digandrungi pengguna. Pengguna jadi makin sulit membedakan fiksi dan realita karena bot seleb idaman bisa berbalas pesan, mendengarkan, dan seolah-olah memperhatikan pengguna (Rutledge, 2025). 

Selain kedua fenomena di atas, ada pula konsep objectophilia yaitu ketertarikan romantis terhadap sebuah objek (Arifi & Kilduff, 2024). Meski tidak dikategorikan sebagai gangguan mental, objectophilia menunjukkan bagaimana sebagian orang bisa merasa terikat pada benda atau entitas non‑manusia. Memahami konsep ini dapat membantu orang tua mengerti apa yang dirasakan anak ketika menyukai chatbot.

Mengapa Anak Rentan?

Psikolog Annisa Axelta dari Eka Hospital mengatakan bahwa kurangnya dukungan emosional di rumah mendorong anak mencari pelarian. Anak dengan gangguan kecemasan atau kesepian rentan menjadikan AI sebagai teman virtual. Pernyataan ini didukung oleh survei MIT yang dilakukan terhadap 404 pengguna AI companion. Data ini mengungkap bahwa 12% pengguna memakai bot untuk mengatasi kesepian dan 14% pengguna menggunakannya untuk membahas kesehatan mental (Liu et al., 2024). 

Dalam kasus Aulia, ketergantungan pada chatbot muncul karena ia merasa dihargai dan tidak dikritik. Ketika ponselnya disita, ia histeris karena menganggap orang tua menghancurkan satu‑satunya hubungan yang membuatnya merasa hidup. Selanjutnya, kasus Sewel Setzer mengungkap dampak terburuk dari kecanduan chatbot. Remaja yang memiliki gangguan kecemasan ini memutuskan untuk mengakhiri hidup setelah berinteraksi dengan chatbot AI. 

Kedua kasus tersebut menggarisbawahi bahwa anak-anak rentan menerima dampak negatif dari penggunaan AI. Rasa kesepian, tekanan akademik, gangguan kesehatan mental dan kurangnya perhatian di rumah membuat anak mencari teman virtual. Akibatnya, mereka terhambat mengelola emosi serta mengalami penurunan empati dan ketidakmampuan dalam membangun hubungan nyata. Batas antara fiksi dan realita pun jadi kabur sehingga mereka menganggap chatbot sebagai pasangan nyata yang memahami diri mereka. 

Peran Ibu dalam Literasi Digital

Secara tradisional, ibu di Indonesia berperan sebagai pengelola emosi keluarga. Ibu bertugas mendengarkan, menghibur, dan mendidik moral. Di era digital, peran ini berkembang menjadi pendidik digital. Kendati demikian, tidak semua ibu siap melakukannya karena mereka tidak tumbuh bersama AI. 

Marc Watkins, pakar literasi AI dari Universitas Mississippi, mengatakan bahwa banyak orang tua tidak memiliki pengalaman dengan generative AI sehingga sulit memberi nasihat serta batasan yang tepat. Oleh karena itu, ia mendorong orang tua untuk meluangkan sekitar 30 menit per minggu untuk mempelajari AI bersama keluarga. 

Selain itu, Marc Watkins menyarankan bertanya “bagaimana” anak menggunakan AI, bukan hanya “apakah” mereka menggunakannya. Perbincangan ini akan membuka diskusi seputar etika dan tanggung jawab dalam menggunakan AI.

BACA JUGA:   Bolehkah Pakai AI untuk Membuat Cover Novel?

Menjadi pendengar dan fasilitator berarti mengakui perasaan anak tanpa menghakimi. Ketika anak berbagi tentang chatbot yang romantis, ibu dapat menanyakan apa yang mereka sukai dari bot tersebut, lalu menjelaskan bagaimana algoritma bekerja. Dengan demikian, anak merasa dihargai sekaligus memperoleh pemahaman dan mengurangi Eliza effect.

Mengajarkan Pola Pikir Kritis Melalui Co‑learning

Selain meluangkan waktu dan mengajak anak berdiskusi, menanamkan pola pikir kritis bisa jadi solusi yang terbaik. Pola pikir kritis dapat membentengi anak dari dampak buruk AI sejak dini sekaligus memberinya kemampuan untuk membuat batasan sehat pada teknologi-teknologi baru yang akan muncul di masa mendatang. Ibu bisa mengajarkannya kepada anak dengan metode co-learning.

Co‑learning adalah pendekatan di mana orang tua dan anak belajar bersama sebagai rekan. Alih‑alih melarang, ibu mengajak anak menjelajahi teknologi dengan tujuan membangun pemahaman dan kontrol diri. Dengan co-learning, anak dan orang tua dapat belajar bersama-sama dan mendiskusikan alasan memilih atau menolak konten tertentu. 

Dalam kegiatan co‑learning, ibu dapat menerapkan beberapa praktik ini:

  1. Evaluasi informasi yaitu mengajak anak menggunakan mesin pencari untuk memeriksa kebenaran jawaban chatbot. Tunjukkan perbedaan domain (.gov, .edu, .com) dan bagaimana cara mengidentifikasi sumber informasi yang valid. Latihan seperti ini menumbuhkan kebiasaan memverifikasi fakta.
  2. Diskusi privasi dan keamanan. Saat bermain dan belajar bersama anak, ibu bisa mengingatkan bahwa chatbot dapat menyimpan data sehingga tidak boleh diberikan informasi pribadi. Di sini, Ibu bisa menyambung dengan menjelaskan etika digital, seperti tidak boleh menyebarkan foto orang lain tanpa izin dan menghindari oversharing.
  3. Membedakan AI dan manusia. Ibu dapat menjelaskan bagaimana algoritma bekerja, mengapa bot selalu setuju, dan kenapa mereka kadang salah. Diskusikan Eliza effect dan parasosial relationship agar anak sadar mengapa mereka bisa merasa dekat dengan AI.
  4. Menetapkan batasan bersama anak. Anak dan ibu membuat kesepakatan tentang waktu dan tempat penggunaan AI. Misalnya, penggunaan chatbot hanya  boleh dilakukan di area umum rumah dengan durasi terbatas serta disesuaikan dengan usia. Anak usia 6–10 tahun sebaiknya berinteraksi minimal dan diawasi; usia 11–13 diperkenalkan literasi media; remaja 14+ diajak membahas etika dan bias AI.

Rangkaian praktik co-learning akan membuat anak belajar bahwa AI bukan sahabat sejati. Mereka sadar bahwa chatbot tidak memiliki perasaan; ia hanya memproses data dan cenderung setuju dengan pengguna. Selain itu, co-learning efektif membentengi anak dari pujian atau saran berbahaya dengan membiasakan diri memeriksa informasi dan memahami bias AI. Terakhir, co‑learning mengalihkan kebutuhan emosi ke hubungan nyata. Anak jadi lebih nyaman berbagi cerita dengan ibu daripada dengan chatbot karena komunikasi dapat dilakukan secara terbuka. 

Dalam jangka panjang, praktik co-learning melahirkan anak yang etis, kreatif, dan mandiri. Mereka mampu menggunakan AI sebagai alat belajar dan mengeksplorasi dunia tanpa menjadi budak. Mereka juga tetap dapat mengembangkan empati karena tetap berinteraksi dengan keluarga dan teman. Kesadaran kritis terhadap teknologi akan mempersiapkan mereka menghadapi tantangan digital masa depan.

BACA JUGA:   Hubungan Menyimak, Berbicara, Membaca, dan Menulis

Literasi Digital dengan Akar Budaya Nasional

Di Indonesia, perempuan dapat mengadaptasi nilai kebersamaan dan gotong royong ke dalam proses pendidikan literasi digital. Misalnya, ibu dapat menggelar “musyawarah gadget” di rumah, di mana anggota keluarga dapat mendiskusikan topik seperti privasi, hoaks, atau penipuan online. Dengan demikian, praktik co‑learning akan semakin kaya dengan kearifan lokal sehingga pola pikir kritis pada anak dapat tumbuh tanpa meninggalkan budaya. 

Tak hanya dalam keluarga, perempuan juga punya peran sebagai penggerak komunitas baik dalam kegiatan PKK, Posyandu maupun kegiatan lingkungan lainnya. Keterlibatan ini dapat digunakan untuk membagikan praktik literasi digital kepada sesama ibu sehingga memperluas dampaknya. Dari sini, terlihat dengan jelas bahwa kunci untuk meredam dampak buruk teknologi berada di tangan perempuan. 

Sebagai garda depan literasi digital, ibu berperan membekali anak dengan keterampilan digital sekaligus menanamkan pola pikir kritis yang dapat meredam dampak negatif AI. Jika semua perempuan Indonesia melaksanakan peran ini secara optimal, maka masyarakat kita dapat mengenyam kemerdekaan digital. Kita merdeka dari ketakutan terhadap teknologi dan menumbuhkan generasi yang berdaya, kreatif, serta berakar pada nilai‑nilai budaya.

Referensi

  • Adam, D. (2025, May 13). What Are AI Chatbot Companions Doing to Our Mental Health? Scientific American. Retrieved August 5, 2025, from https://www.scientificamerican.com/article/what-are-ai-chatbot-companions-doing-to-our-mental-health/
  • ‘Anakku Terjerat Romansa Virtual dengan Chatbot AI..’ (2025, July 23). CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20250722154257-284-1253605/anakku-terjerat-romansa-virtual-dengan-chatbot-ai
  • Arifi, F., & Kilduff, A. (2024, November 1). What is objectophilia? The attraction toward objects, explained. NOCD. Retrieved August 5, 2025, from https://www.treatmyocd.com/blog/what-is-objectophilia
  • Glover, E., & Whitfield, B. (2023). What Is the Eliza Effect? Built In. Retrieved August 5, 2025, from https://builtin.com/artificial-intelligence/eliza-effect
  • Hastings, M. (2024, December 2). What Do Parents Need To Know About AI Character Chatbots? CU Anschutz newsroom. Retrieved August 5, 2025, from https://news.cuanschutz.edu/news-stories/what-do-parents-need-to-know-about-ai-character-chatbots
  • Kurangnya Perhatian Orang Tua Bisa Jadi Faktor Anak Terjerat dengan AI. (2025, July 23). CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20250723112407-284-1253889/kurangnya-perhatian-orang-tua-bisa-jadi-faktor-anak-terjerat-dengan-ai
  • Liu, A. R., Pataranutaporn, P., & Maes, P. (2024, December 18). Chatbot Companionship: A Mixed-Methods Study of Companion Chatbot Usage Patterns and Their Relationship to Loneliness in Active Users. Arxiv. https://doi.org/10.48550/arXiv.2410.21596
  • News You Can Use: Parents Have Vital Role in Helping Kids Navigate AI. (n.d.). The University of Mississippi. https://olemiss.edu/news/2025/06/news-you-can-use-navigating-ai-for-parents/
  • Remaja 14 Tahun Mengakhiri Hidupnya Gegara Jatuh Cinta dengan Chatbot AI. (2024, October 24). Liputan6.com. https://www.liputan6.com/citizen6/read/5758721/remaja-14-tahun-mengakhiri-hidupnya-gegara-jatuh-cinta-dengan-chatbot-ai
  • Rutledge, P. (2025, June 26). Kids and Chatbots: When AI Feels Like A New Best Friend. Cyberwise. Retrieved August 5, 2025, from https://www.cyberwise.org/post/kids-and-chatbots-when-ai-feels-like-a-new-best-friend
  • St-Esprit, M. (2025, July 28). Critical digital literacy basics to teach every kid using the internet. care.com. https://www.care.com/c/digital-literacy-for-kids/
  • What are AI chatbots and companions? How parents can keep children safe. (n.d.). internetmatters.org. https://www.internetmatters.org/resources/ai-chatbots-and-virtual-friends-how-parents-can-keep-children-safe/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Daftar Isi