Bahasa Inklusif: Apa Pentingnya dalam Penulisan?
Bahasa inklusif sebaiknya kamu gunakan setiap kali menulis tentang komunitas tertentu secara akurat.
Terlebih lagi, kegagalan menggunakan bahasa inklusif dapat membuat orang-orang dari kelompok ini merasa dikucilkan. Lebih daripada itu, kamu akan terasa seperti menulis bukan untuk mereka — dan bahkan dapat menyebabkan mereka berhenti mengonsumsi karya itu sepenuhnya.
Bayangkan jika kamu adalah seorang anggota pecinta alam yang baru saja memutuskan untuk membaca sebuah novel dengan judul Sang Pendaki.
Meskipun kamu awalnya sangat bersemangat untuk membaca, kamu mungkin segera menyadari bahwa penulis telah melakukan banyak kesalahan. Biasanya, dari terminologi hingga penggambaran karakter utama, tidak ada yang cocok dengan pengalaman sebenarnya.
Maka kamu pun gagal relate dengan novel tersebut. Kamu malah mungkin akan menyimpulkan bahwa si penulis tidak benar-benar peduli dengan komunitas pecinta alam.
Lebih parah lagi, kamu pasti akan mengatakan pada teman-temanmu bahwa buku ini hanya berdasar pada stereotip dan asumsi! Dalam artian, penulisnya belum mampu menulis secara inklusif tentang pecinta alam.
Lebih dalam lagi, percakapan seputar penulisan inklusif berfokus pada komunitas yang termarginalisasi. Atau, orang-orang yang dikesampingkan atau dianiaya dalam masyarakat dan budaya arus utama, dan sering didahului oleh sejarah penindasan. Ini termasuk (namun tidak terbatas pada) BIPOC, LGBTQ+, neurodivergent, dan penyandang disabilitas.
Jadi:
Topik penulisan inklusif bersifat kompleks, saya bahkan sering menghindari pembahasan mengenai topik ini. Namun, dalam postingan ini saya ingin menyoroti tentang kebiasaan menulis non inklusif yang telah kita semua kembangkan selama bertahun-tahun.
Tujuannya adalah supaya writers bisa mempertimbangkan untuk mencoba menulis secara inklusif dan mendapatkan lebih banyak lagi pembaca.
Disclaimer: Artikel ini mungkin berisi beberapa stereotip dan label untuk memberikan konteks tentang bagaimana penggunaan bahasa telah berubah dari waktu ke waktu.
Mengapa Menulis Inklusif itu Penting?
Sangatlah mudah bagi kita menuliskan istilah tertentu yang tampaknya tidak berbahaya namun sebenarnya tidak sensitif atau menyinggung kelompok-kelompok yang marginal.
Sebagian besar dari penulisan inklusif hanyalah menyadari istilah-istilah yang sudah ketinggalan zaman dan menghindarinya. Namun, perlu writer sadari bahwa penulisan yang benar-benar inklusif harus lebih dalam dari ini. Pasalnya, writer juga harus mempertimbangkan batasan yang kurang jelas dan lebih implisit antara kelompok.
Misalnya, menggunakan kata-kata seperti “kami”, “kita” dan “milik kami” dalam tulisan terkadang diperlukan dan seringkali tidak berbahaya, tetapi tidak semua pembaca akan memiliki pengalaman yang sama.
Lebih daripada itu, tergantung pada konteksnya, sebagian kelompok marginal mungkin merasa ada kesalahpahaman yang terjadi ketika penulis menulis kata “kami” tanpa merenungkan siapa bagian dari kelompok yang disebutkan.
Begitu seorang penulis memahami hal ini, mereka dapat menggunakan kreativitas dan keahlian mereka untuk menulis dengan niat dan pemikiran yang lebih terbuka.
Menulis Inklusif dalam Non Fiksi
Sebelum menguraikan beberapa area dan elemen spesifik dari bahasa inklusif, perlu dicatat bahwa berbagai bentuk tulisan memerlukan bentuk inklusivitas yang berbeda.
Banyak jenis nonfiksi seperti jurnalisme, tulisan akademis, teks hukum, dan panduan kebijakan perusahaan cenderung ditulis dengan gaya “objektif” — biasanya terlihat faktual dan tidak memihak.
Akibatnya, ada tanggung jawab yang lebih besar pada writers untuk menjadi akurat dan cukup netral.
Hasilnya, menggunakan istilah yang salah atau mungkin mengasingkan orang yang mereka tulis tidak hanya akan menghina kelompok tersebut tetapi juga melemahkan argumen yang coba dibuat oleh penulis.
Untungnya, karena nonfiksi berhubungan dengan orang-orang di kehidupan nyata, penerbit dapat memastikan bahwa teks yang mereka terbitkan tidak merusak atau menyinggung.
Pasalnya, mereka dapat berkonsultasi dengan kelompok-kelompok tentang terminologi yang mereka sukai. Penulis yang menerbitkan sendiri nonfiksi tentu saja dapat melakukan hal yang sama dengan sedikit inisiatif.
Penulisan Inklusif dalam Fiksi
Penulisan fiksi inklusif agak kurang lugas. Tokoh fiksi mungkin tidak betul-betul nyata. Namun mereka dapat (dan seharusnya) tetap mencerminkan orang-orang di sekitar kita. Kadang-kadang, ini akan mencakup karakter yang bias terhadap kelompok lain.
Misalkan karakter fiksi berpikir, berbicara, atau berperilaku ofensif. Dalam hal ini, seorang penulis harus dengan jelas membedakan antara suara karakter dan suara penulis.
Terlebih lagi, sangatlah penting untuk menunjukkan bahwa ini adalah pilihan dari tokoh, dan bukan saran dari penulis. Idealnya dengan cara yang menunjukkan bahwa karakter ini tidak dimaksudkan untuk menjadi panutan.
Mereka mungkin juga ingin mempertimbangkan apakah karakter yang menggunakan bahasa eksklusif diperlukan untuk cerita, atau apakah mereka hanya ada di sana untuk menambah nilai kejutan.
Inilah mengapa seorang penulis fiksi biasanya membutuhkan copy editor yang terlatih untuk menandai potensi masalah yang mungkin muncul dalam tulisan. Copy editor juga biasanya akan menyarankan alternatif atau mengarahkan writer ke pilihan yang tidak akan mengundang kontradiksi.
Selanjutnya, jika kamu masih ragu, maka kamu dapat mencari sensitivity reader yang berasal dari komunitas yang kamu tulis. Dengan demikian, mereka dapat mengevaluasi penulisan dan memberi umpan balik tentang apa yang harus kamu sesuaikan sebelum menerbitkan tulisan.
Etnis, Ras, dan Kebangsaan
Meskipun kamu mungkin tahu untuk tidak menggunakan cercaan dan stereotip berlebihan dalam tulisan kita, ada masalah lain yang masih bisa muncul.
Misalnya, setiap penulis yang baik tahu bahwa detail spesifik penting untuk menghidupkan cerita yang menggunakan “show don’t tell.” Namun, kadang-kadang, deskripsi yang terlalu spesifik mungkin mengarah pada stereotip yang berbahaya.
Contohnya:
Non Inklusif | Inklusif |
Saat Anyelir berhasil mencapai dermaga, banyak turis Jepang mengerumuninya dengan kekaguman. | Saat Anyelir berhasil mencapai dermaga, sekelompok turis menyambutnya dan berebutan meminta selfie. |
Meskipun benar bahwa deskripsi “Jepang” akan membantu pembaca membayangkan seperti apa rupa para turis. Mental image ini kemungkinan akan dipengaruhi oleh stereotip turis Jepang yang biasanya digambarkan dalam budaya populer.
Sedangkan, alternatif inklusifnya dapat mencapai apa yang penulis maksudkan tanpa menyinggung. Lebih daripada itu, pembaca mungkin malah akan mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang apa yang terjadi dalam cerita.
Oleh karena itu, penulis yang ingin lebih inklusif harus selalu mempertanyakan apakah merujuk pada etnis, ras, dan/atau kebangsaan seseorang benar-benar relevan dengan konteksnya.
Memahami perbedaan suku, ras, dan kebangsaan
Ketika mengacu pada suku, ras, dan kebangsaan, kamu perlu terlebih dahulu memahami perbedaan mendasar dari ketiganya.
- Ras adalah definisi sosial yang mengacu pada identifikasi diri seseorang dengan suatu kelompok.
- Etnis mengacu pada latar belakang budaya atau tempat asal seseorang.
- Kebangsaan biasanya berdasar pada hukum internasional dan mengacu pada identifikasi hukum seseorang sebagai subjek suatu bangsa.
Tidak ada dasar ilmiah untuk ras, tetapi ras lebih sering dikaitkan dengan ciri fisik dan penampilan, sementara etnisitas dapat ditampilkan secara selektif.
Penulis terkadang lebih suka menggunakan ‘etnis’ sebagai istilah, karena terasa lebih netral daripada ‘ras’.
Meskipun kedua istilah tersebut tumpang tindih, penulis harus selalu berusaha menggunakan bahasa tertentu bila diperlukan. Pasalnya, penggabungan istilah-istilah ini dapat menyebabkan misinterpretasi.
Misalnya, tidak semua orang kulit hitam di Amerika mengidentifikasi diri sebagai orang Afrika-Amerika. Di sisi lain, banyak yang lebih suka istilah Afrika Amerika daripada Hitam.
Sekadar mengingatkan, ada beberapa istilah yang mungkin sudah ketinggalan zaman. Jadi, kecuali kamu adalah bagian dari kelompok yang kamu tuliskan sebaiknya menghindari beberapa istilah ini dalam narasi (bukan dialog, ya):
- Daripada menggunakan istilah “pribumi” lebih baik menggunakan etnisnya secara spesifik.
- Daripada menggunakan istilah “minoritas” sebaiknya kamu menggunakan kata-kata “marginal”
Gender, Seks, dan Seksualitas
Tulisan yang inklusif gender mengakui bahwa gender tidak identik dengan seks, melainkan beroperasi pada spektrum, seperti halnya seksualitas.
Oleh karena itu, sebaiknya kamu menggunakan terminologi yang akurat untuk menuliskannya. Ada baiknya juga mempelajari perbedaan definitif di antara ketiganya:
- Seks/jenis kelamin umumnya mengacu pada karakteristik fisik seseorang, sering kali ditetapkan saat lahir dan diproduksi oleh hormon dan kromosom. Ini biasanya tak hanya berlaku pada pria / wanita tetapi juga termasuk orang-orang yang interseks atau memiliki perbedaan perkembangan seksual (DSD).
- Gender adalah identitas dan konstruksi sosial berdasarkan label ‘maskulinitas’ dan ‘feminitas’, serta persepsi internal seseorang tentang diri sendiri. Terminologi ini umumnya beroperasi pada spektrum dan mencakup identitas gender seperti pria, wanita, agender, gender-fluid, dan non-binary.
- Seksualitas mengacu pada orientasi seksual seseorang atau ketertarikan romantis antara dua orang.
Istilah-istilah ini memiliki dampak yang berbeda dalam fiksi dan nonfiksi dan tergantung pada apakah kamu mengacu pada orang atau karakter tertentu, atau apakah kamu berbicara lebih umum tentang seseorang atau sekelompok orang.
Gender dan Seksualitas dalam Narasi
Jika kamu adalah seorang penulis fiksi, maka kamu bebas untuk memutuskan bagaimana tokoh mengidentifikasi diri mereka sendiri.
Bagi saya lebih penting untuk fokus pada menulis dengan cara yang tidak melanggengkan stereotyping tentang gender, jenis kelamin, dan/atau seksualitas.
Lebih daripada itu, hindari menggunakan label yang sudah ketinggalan zaman.
Contohnya: Alih-alih menulis “Joko berlari seperti perempuan,” kamu bisa menggunakan perbandingan lainnya.
Dalam nonfiksi, kecuali gender, jenis kelamin, atau seksualitas merupakan faktor yang relevan secara langsung, penulis harus mencoba menggunakan terminologi dan ekspresi yang netral gender. Penting juga untuk menggunakan kata ganti, judul, dan deskripsi yang benar.
Disabilitas dan Neurodiversity
Penggunaan bahasa yang umum ternyata tidak selalu baik bagi penyandang disabilitas.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa deskripsi yang ceroboh dari karakter-karakter ini biasanya muncul di semua genre penulisan. Apalagi, konotasi negatif tentang disabilitas dan neurodiversity sering kita gunakan dalam bahasa sehari-hari.
Jika memungkinkan, usahakan untuk selalu berbicara dengan orang yang bersangkutan atau untuk memverifikasi preferensi mereka. Kamu juga dapat mencari informasi dari organisasi atau komunitas untuk menentukan praktik bahasa yang lebih baik.
Terakhir, kamu dapat dengan mudah mengganti ekspresi tertentu untuk membuat tulisan lebih menarik bagi semua pembaca:
Daripada Menulis | Gunakan Padanan Kata ini |
“orang cacat” atau “orang buta”. | “Penyandang disabilitas/penyandang disabilitas” atau “penyandang disabilitas/tunanetra”. |
“pasien” atau “tidak sehat” | Identitas nama |
“menderita [cacat]” atau “terkurung di kursi roda” | “Memiliki [kondisi/nama diagnosis]” atau “adalah pengguna kursi roda/menggunakan kursi roda” |
“gila” atau “tidak stabil” | “Orang dengan gangguan jiwa”, “tidak dapat diprediksi” |
Akhir Kata
Penulis dapat menerapkan bahasa inklusif secara langsung dalam tulisan mereka. Namun, editor maupun sensitivity reader yang baik juga dapat membantu kamu menangkap hal-hal yang mungkin terlewatkan atau tidak terpikirkan.
Jika kamu hendak menulis tentang komunitas marginal yang bukan milikmu, mungkin kamu harus mempertimbangkan jasa editor profesional untuk memastikan bahwa kamu menanganinya secara sensitif.
Terakhir, jangan lupa juga untuk memperhatikan bahwa ada beberapa aspek lain dari penulisan inklusif, seperti usia, kelas, dan agama.
Menggunakan bahasa inklusif maupun non inklusif merupakan pilihan writer sendiri. Tentu saja, bagi saya mengembangkan sensitivitas itu sangatlah penting karena sebaiknya seorang penulis tidak menulis hanya berdasarkan asumsi dan stereotip.
Lebih daripada itu, menggunakan bahasa inklusif memungkinkanmu untuk menjangkau lebih banyak pembaca. Jadi, pertimbangkan penggunaan bahasa dengan baik sebelum kamu menulis, ya!
Wahh,, jadi dapat wawasan baru lagi nih mengenai bahasa untuk penulisan. Terimakasih kak Tika, artikelnya keren sekali.. Anyway, kalau untuk yang masih menulis sendirian, kira-kira alternatifnya apa ya kak kalau tidak memiliki jasa editor kepenulisan? Terimakasih kak.
Untuk memastikan bisa interview orang-orang yang misal mengalami peristiwa sama dengan yang ada di cerita. Atau bisa minta tolong mereka untuk baca manuskrip dan cari kejanggalannya, kak.