Ada prasangka tersendiri ketika berbicara tentang Gen Z dan pandangan mereka terhadap perpustakaan. Terlebih lagi, saya (yang seorang millennial) memang terbiasa meragukan kemampuan generasi baru ini dalam segala aktivitas non-digital.
Itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, Gen Z yang lahir di antara tahun 1997 – 2012 adalah digital native pertama di dunia. Tidak seperti generasi lainnya, mereka hidup di dunia media sosial dengan smartphone yang menyediakan akses informasi instan.
Tentu wajar ketika akhirnya saya mengira bahwa kemungkinan besar mereka tidak pernah menginjakkan kaki di perpustakaan. Apalagi, sampai menghabiskan waktu untuk meraup informasi dari buku-buku yang ada di dalamnya.
Namun, ternyata saya salah duga!
Demi mengetahui apa pandangan generasi Z, saya berusaha menghubungi 3 muda-mudi yang punya pendapat soal perpustakaan dan literasi informasi. Hasilnya cukup mengejutkan karena tentu berkebalikan dengan prasangka saya.
Jadi, siapa mereka dan bagaimana pandangannya? Simak pengalaman interview berikut ini!
Perpustakaan adalah Tempat Terbaik untuk Belajar
Komang Diah Apriyanti adalah nama lengkap gadis kelahiran Bali ini. Namun, siapa saja bisa memanggilnya dengan nama Dian.
Saya mengenalnya dari sebuah komunitas penulis lepas. Lumayan kaget juga, ternyata ada saja penulis belia yang bergabung di komunitas tersebut. Berkenalan dengan Dian inilah yang membuat saya sadar bahwa gen Z adalah kaum yang ulet bekerja dan tidak kalah resourceful-nya dengan millennial.
Berbekal sedikit basa-basi, akhirnya ia bersedia memberikan pendapatnya soal perpustakaan. Apalagi, Dian ternyata sudah biasa masuk perpustakaan semenjak SMA hingga duduk di bangku kuliah.
“Saya membaca buku yang berkaitan dengan tugas atau buku kumpulan puisi dan cerpen, Mbak.”
Begitulah ia menjawab ketika saya menanyakan mengenai buku-buku yang ia baca di dalam perpustakaan.
Bagi Dian, perpustakaan ternyata masih relevan dengan zaman yang semakin digital ini. “Mungkin tidak dari koleksi bukunya, tetapi dari fungsi perpustakaan sendiri karena, perpustakaan adalah tempat terbaik untuk belajar.”
Menurut Dian, beberapa informasi yang didapatkan di perpustakaan SMA berasal dari buku lama yang ternyata bermanfaat. Lebih daripada itu, ketika ia masuk kampus, perpustakaan menyediakan banyak buku atau jurnal referensi yg tidak diterbitkan.
Inilah yang akhirnya membikin Dian betah berlama-lama duduk di dalam perpustakaan.
Dian juga menambahkan ide-ide yang menurutnya penting untuk terus menambah jumlah penghuni perpustakaan. “Sebaiknya, buatlah perpustakaan terkesan lebih santai. Misal, sediakan meja lesehan atau sofa, AC, serta tempat minuman (air putih). Sehingga, perpustakaan dapat membuat siswa atau mahasiswa nyaman belajar di dalamnya. Buku di perpustakaan juga sebaiknya rutin dirapikan dan diperbarui.”
Perpustakaan Masih Sangat Relevan
Berbeda dari Dian yang akrab dengan dunia penulisan, Wiarsya Humam Adi Wicaksono adalah sosok yang bisa dibilang mewakili kaum seniman muda. Bagaimana tidak? Pemuda ini adalah ketua sanggar Teater Lingkar Malang yang cukup punya nama.
Wiarsya mengaku kontak pertamanya dengan perpustakaan terjalin semenjak masuk kuliah. Kala itu, ia sedang mencari buku berjudul “Senjakala Majapahit” yang hanya dapat ditemukan di perpustakaan kampus.
“Saat itu perpustakaan yang saya kunjungi sangat sepi dan pengunjungnya dapat dihitung jari,” jelasnya. “Tetapi, menurut saya (perpustakaan) masih sangat relevan.”
Wiarsya menjelaskan bahwa informasi yang ia dapatkan sebenarnya sangat banyak. Terlebih lagi, buku-buku bacaan seperti sejarah, kesusastraan, medis, teknologi, dan lain-lain kadang hanya tersedia di perpustakaan.
Wiarsya menambahkan bahwa harus ada inovasi baru supaya perpustakaan bisa menuju literasi informasi yang lebih baik.
“Perpustakaan harus menambahkan buku bacaan yang menarik untuk remaja terutama di masa sekarang, selain itu perpustakaan harus membenahi pelayanan terhadap pelanggannya,” tuturnya.
Bagi Wiarsya, perpustakaan mungkin akan tetap bertahan karena memiliki banyak koleksi buku yang jarang ditemukan di jaringan informasi digital. Namun, ia tetap menambahkan bahwa, “Perpustakaan akan jarang dikunjungi karena masyarakat saat ini lebih tertarik dengan bacaan digital.”
Baca di Perpustakaan Bikin Lebih Fokus
Mengudara di ruang siar 107.5 FM mulai jam 6 hingga jam 9 pagi, membuat Rachmad Samudera harus beraktivitas sejak dini hari. Pemuda berusia 19 tahun ini memang sudah terbiasa dengan aktivitasnya yang super padat. Untungnya, ia masih berkenan memberikan sedikit waktunya untuk menjawab beberapa pertanyaan saya.
Rachmad menceritakan bahwa pengalaman masuk perpustakaan yang paling berkesan terjadi pada saat ia masih mengenyam pendidikan Sekolah Dasar. “Jadi, waktu itu aku masih SD. Kakak sering membawa pulang buku sehingga kecintaannya pada buku akhirnya menular.”
Saat itu, Rachmad mengaku bahwa perpustakaan yang paling dekat dengan lokasinya terletak di Kecamatan. Jadi, mau tidak mau ia dan kakaknya harus berkendara dengan sepeda motor terlebih dahulu ketika ingin membaca buku. Meskipun demikian, mereka rutin mengunjungi perpustakaan seminggu sekali setiap hari minggu pagi.
“Buku yang aku cari itu biasanya buku ensiklopedia, buku yang gede-gede banget, yang ada gambar-gambarnya. Meski waktu kecil belum ngerti anatomi tubuh atau tata surya, aku tetap baca karena senang dan ini akhirnya kebawa sampai sudah gede.”
Rachmad mengaku membaca di dalam perpustakaan membuatnya lebih fokus karena suasana perpustakaan yang tenang, nyaman, dan kondusif. Menurut Rachmad sendiri, perpustakaan saat ini seharusnya bisa menyesuaikan dengan zaman. “Mungkin bisa dimulai dari branding di media sosial, Mbak”
Lebih daripada itu, Rachmad juga mengungkapkan bahwa desain arsitektur perpustakaan mungkin bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung. “Jarang diperhatikan dan mungkin terkesan sepele juga, tapi kalau tempat dan gedungnya menarik, kupikir peminat perpustakaan juga jadi banyak.”
Kendati demikian, penyiar radio ini menyatakan bahwa ia sendiri tidak yakin dengan eksistensi perpustakaan dalam 2-3 tahun ke depan. Terlebih lagi, semua media pembelajaran dan informasi sudah beralih ke gawai.
“Untuk dapat bertahan, perpustakaan harus mulai berkolaborasi dengan berbagai komunitas baca buku,” tandasnya.
Akhir Kata
Mengakhiri pembicaraan dengan ketiga muda-mudi ini membuat saya merasa optimis. Paling tidak, saya jadi tahu bahwa generasi Z juga pernah mengunjungi perpustakaan dan benar-benar peduli dengan nasib perpustakaan.
Hal ini terbukti lewat ide-ide yang mereka sampaikan terkait dengan masa depan perpustakaan. Untuk urusan literasi informasi, gen Z mungkin malah berada di urutan terdepan. Oleh karena itu, pendapat merekalah yang butuh didengar.
Tulisan ini sebenarnya saya buat untuk menjawab tantangan lomba blog dari UPT. Perpustakaan Unsyiah dalam rangkaian acara USK Library Fiesta 2022. Namun, saya akhirnya juga ikut mendapat pencerahan.
Dari yang awalnya sangsi, 3 digital natives yang saya interview ternyata berhasil mengubah prasangka saya terhadap mereka. Jadi, saya berharap pendapat mereka bermanfaat untuk USK.
Selanjutnya, saya serahkan suara generasi muda ini kepada UPT. Perpustakaan USK. Semoga opini mereka dapat tersalur dan terdengar agar Perpustakaan USK bisa terus memutar roda pengetahuan menuju literasi informasi yang lebih baik.